Mana
yang lebih rojih antara sholat tarawih
dua rokaat denganempat rokaat
bismilah awalan
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 991 & 993 & 1137, Muslim no. 749,
Abu Daawud no. 1326, dan yang lainnya dari Ibnu ‘Umarradliyallaahu ‘anhumaa]. Darihadis
diatas jelas menunjukan sholat lail dua rokaat salam terus bagaimana dengan hadis
yang di riwayatkan aisyah
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي
غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسَلْ عَنْ
حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلَا تَسَلْ عَنْ
حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
“Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat di bulan Ramadlan maupun di
bulan selainnya lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat
raka’at, kamu jangan menanyakan bagus dan panjangnya. Setelah itu shalat empat
raka’at dan kamu jangan menanyakan bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat
tiga raka’at” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2013 dan Muslim no. 738].
Dhahir
hadits ini menunjukkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat
empat raka’at dengan satu salam. Inilah pendapat Abu Haniifah, sebagaimana
disitir oleh Al-‘Iraaqiyrahimahumallah :
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ الْأَفْضَلُ
أَنْ يُصَلِّيَ أَرْبَعًا أَرْبَعًا وَإِنْ شَاءَ رَكْعَتَيْنِ وَإِنْ شَاءَ
سِتًّا وَإِنْ شَاءَ ثَمَانِيًا وَتُكْرَهُ الزِّيَادَةُ عَلَى ذَلِكَ
“Abu
Haniifah berkata : “Afdlal-nya shalat malam empat raka’at empat raka’at.
Apabila berkehendak, shalat 2 raka’at, apabila berkehendak shalat 6 raka’at,
apabila berkehendak shalat 8 raka’at. Dan dimakruhkan menambah raka’at dari
itu” [Tharhut-Tatsriib, 3/357].
Tentang hadis di atas memang ada perbedaan pendapat ulama
semuanya boleh dan yang paling rojih adala hadits riwayat dari Aisyah itu bukan
menunjukkan shalat witir, sebagai penguatnya didukung dg hadits berikut:
1. dalam hadits lain dari 'Aisyah yang juga diriwayatkan oleh Muslim disebutkan yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
Dari Aisyah, sungguh Rasulullah saw. dahulu biasa shalat antara sesudah shalat 'Isya' sampai datangnya waktu Shubuh sebelas raka'at dan setiap dua raka'at beliau salam.
2. Dari uraian 'Aisyah pada point 1 bila dihubungkan dg hadits Aisyiah yg dinukil Ust. Abul Jauzaa tersebut kemudian disimpulkan atau dipahami, bahwa shalat Lail maupun Tarawih 8 raka'at itu dilakukan 2 termin atau 2 tahap. Yaitu termin pertama 4 raka'at dengan cara 2 raka'at salam, 2 raka'at salam lalu istirahat lama. Kemudian termin kedua 4 raka'at lagi dengan cara 2 raka'at salam, 2 raka'at salam, lalu istirahat lama. Kemudian 3 raka'at witir. Pemahaman ini sesuai dengan hadits Ibnu 'Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Nasa'i:
كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ فَتَوَضَّأَ وَاسْتَاكَ وَهُوَ يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا "إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ" ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ عَادَ فَنَامَ حَتَّى سَمِعْتُ نَفْخَهُ ثُمَّ قَامَ فَتَوَضَّأَ وَاسْتَاكَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَتَوَضَّأَ وَاسْتَاكَ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَأَوْتَرَ بِثَلَاثٍ
"Saya dulu pernah bermalam di rumah Nabi saw. lalu beliau bangun malam, lalu wudhu' dan bersiwak, lalu baca ayat "inna fi khalqissamaawaati ... (Ali 'Imran:190), kemudian beliau shalat 2 raka'at, kemudian kembali ke tempatnya lalu tidur sampai aku dengar suara dengkurannya. Kemudian beliau bangun, lalu wudhu' dan bersiwak kemudian shalat 2 raka'at, kemudian tidur, kemudian bangun, lalu wudhu' dan bersiwak dan shalat 2 raka'at dan witir 3 raka'at."
3. Sahabat Ibnu Abbas juga menyebutkan lebih jelas lagi pada hadits riwayat Nasa'i tentang hal yang sama yaitu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَيُوتِرُ بِثَلاَثٍ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
"Dahulu Rasulullah saw. biasa shalat lail 8 raka'at dan witir 3 raka'at dan 2 raka'at shalat sebelum shubuh."
Dengan penjelasan hadits Aisyah dan Ibnu Abbas tersebut di atas, maka kita mendapatkan kepastian cara melakukan 4 raka'at yang dimaksudkan oleh hadits Aisyah itu, yaitu 4 raka'at adalah termin atau tahap, dan setiap tahap 4 raka'at itu cara melakukannya adalah 2 raka'at salam, 2 raka'at salam, lalu istirahat lama. Bahkan dalam istirahat itu Nabi saw. kembali ke tempat tidurnya, lalu tidur, seperti keterangan point 2.
1. dalam hadits lain dari 'Aisyah yang juga diriwayatkan oleh Muslim disebutkan yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
Dari Aisyah, sungguh Rasulullah saw. dahulu biasa shalat antara sesudah shalat 'Isya' sampai datangnya waktu Shubuh sebelas raka'at dan setiap dua raka'at beliau salam.
2. Dari uraian 'Aisyah pada point 1 bila dihubungkan dg hadits Aisyiah yg dinukil Ust. Abul Jauzaa tersebut kemudian disimpulkan atau dipahami, bahwa shalat Lail maupun Tarawih 8 raka'at itu dilakukan 2 termin atau 2 tahap. Yaitu termin pertama 4 raka'at dengan cara 2 raka'at salam, 2 raka'at salam lalu istirahat lama. Kemudian termin kedua 4 raka'at lagi dengan cara 2 raka'at salam, 2 raka'at salam, lalu istirahat lama. Kemudian 3 raka'at witir. Pemahaman ini sesuai dengan hadits Ibnu 'Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Nasa'i:
كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ فَتَوَضَّأَ وَاسْتَاكَ وَهُوَ يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا "إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ" ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ عَادَ فَنَامَ حَتَّى سَمِعْتُ نَفْخَهُ ثُمَّ قَامَ فَتَوَضَّأَ وَاسْتَاكَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَتَوَضَّأَ وَاسْتَاكَ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَأَوْتَرَ بِثَلَاثٍ
"Saya dulu pernah bermalam di rumah Nabi saw. lalu beliau bangun malam, lalu wudhu' dan bersiwak, lalu baca ayat "inna fi khalqissamaawaati ... (Ali 'Imran:190), kemudian beliau shalat 2 raka'at, kemudian kembali ke tempatnya lalu tidur sampai aku dengar suara dengkurannya. Kemudian beliau bangun, lalu wudhu' dan bersiwak kemudian shalat 2 raka'at, kemudian tidur, kemudian bangun, lalu wudhu' dan bersiwak dan shalat 2 raka'at dan witir 3 raka'at."
3. Sahabat Ibnu Abbas juga menyebutkan lebih jelas lagi pada hadits riwayat Nasa'i tentang hal yang sama yaitu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَيُوتِرُ بِثَلاَثٍ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
"Dahulu Rasulullah saw. biasa shalat lail 8 raka'at dan witir 3 raka'at dan 2 raka'at shalat sebelum shubuh."
Dengan penjelasan hadits Aisyah dan Ibnu Abbas tersebut di atas, maka kita mendapatkan kepastian cara melakukan 4 raka'at yang dimaksudkan oleh hadits Aisyah itu, yaitu 4 raka'at adalah termin atau tahap, dan setiap tahap 4 raka'at itu cara melakukannya adalah 2 raka'at salam, 2 raka'at salam, lalu istirahat lama. Bahkan dalam istirahat itu Nabi saw. kembali ke tempat tidurnya, lalu tidur, seperti keterangan point 2.
Jadi yang lebih rojih adalah dua salam dua salam ditutup
dengan witir tiga rokaat
(mayoritas
ulama berpendapat seperti itu)
Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11
Raka’at?
Mayoritas
ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah
raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak
memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah
(yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh
mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”[1]
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam,
beliau menjawab,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا
خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ
صَلَّى
“Shalat malam
itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk
waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup
shalat tadi dengan witir.”[2] Padahal ini dalam konteks pertanyaan.
Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam akan
menjelaskannya.
kedua, sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً
إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya
engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan
meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.”[4] Dalil-dalil ini dengan sangat jelas
menunjukkan bahwa kita dibolehkan memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak
raka’at shalat) dan sama sekali tidak diberi batasan.
Ketiga, pilihan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang
memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari
dua dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau
sendiri, sebagaimana kaedah yang diterapkan dalam ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari
11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan
Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13
raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. …
Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan
raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan,
sungguh dia telah keliru.”[5].
Keempat, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa
melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di
zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya,
‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar
bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia
dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at
kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan
setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena
melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at
dengan bacaan yang begitu panjang.”[6]
kelima, manakah yang lebih utama melakukan shalat
malam 11 raka’at dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka’at yang
dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam?
tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan
raka’at yang lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang
waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya. Allah Ta’ala
berfirman,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ
اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia
mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ
لَيْلًا طَوِيلًا
“Dan pada
sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian
yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)
Tapi sekali lagi saya tegaskan semua itu baik di sisi alloh
tidak ada unshur kebid’ahan disini’
Wallohu
a’lam bishoab (yufid)