Bentuk Jual Beli yang Terlarang (2)
Riba telah kita ketahui
bersama bahayanya. Di antara jual beli terlarang adalah jual
beli yang di dalamnya terdapat unsur riba. Transaksi leasing adalah salah satu di
antara jual beli semacam ini. Tulisan kali adalah lanjutan ulasan sebelumnya
mengenai bentuk jual beli yang terlarang.
Semoga Allah beri kemudahan untuk melanjutkan bahasan ini dalam kesempatan
lainnya.
Kedua:
Jual beli yang mengandung riba
Riba seperti telah kita
ketahui bersama berarti tambahan, sebagaimana makna secara bahasa. Sedangkan
secara istilah berarti tambahan pada sesuatu yang khusus.
Barang Ribawi
Tadi disebutkan mengenai
riba adalah tambahan pada barang yang khusus. Ini menunjukkan bahwa riba
tidaklah berlaku pada setiap tambahan. Dalam jual beli misalnya, kita menukar
satu mobil dengan dua mobil, maka tidak ada masalah karena mobil bukan barang
ribawi. Jika kita menukar kitab dengan dua kitab, juga tidak masalah. Namun
dikatakan riba ketika ada tambahan dan terjadi pada barang yang diharamkan
adanya sesuatu tambahan. Barang semacam ini dikenal denganbarang
atau komoditi ribawi. Ada enam komoditi ribawi yang disebutkan dalam hadits adalah:
1. Emas
2. Perak
3. Gandum halus
4. Gandum kasar
5. Kurma
6. Garam
Dari Abu Sa’id Al Khudri,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ
بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ
أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika
emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual
dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau
timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau
meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan
tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR.
Muslim no. 1584).
Dalam hadits di atas,
kita bisa memahami dua hal:
1. Jika barang sejenis
ditukar, semisal emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka ada dua
syarat yang mesti dipenuhi yaitu: tunai dan semisal dalam takaran atau
timbangan.
2. Jika barang masih satu
‘illah atau satu kelompok ditukar, maka satu syarat yang harus
dipenuhi yaitu: tunai, walau dalam takaran atau timbangan salah satunya
berlebih.
Apakah barang ribawi
hanya terbatas pada enam komoditi di atas? Para ulama mengqiyaskannya dengan
barang lain yang semisal. Namun mereka berselisih mengenai ‘illah atau sebab
mengapa barang tersebut digolongkan sebagai barang ribawi.
Menurut ulama Hanafiyah dan
Hambali, ‘illahnya pada emas dan perak karena keduanya adalah barang
yang ditimbang, sedangkan empat komoditi lainnya adalah
barang yang ditakar.
Menurut ulama Malikiyah,
‘illahnya pada emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar secara umum atau sebagai barang berharga untuk alat tukar, dan sebab ini
hanya berlaku pada emas dan perak. Sedangkan untuk empat komoditi lainnya
karena sebagai makanan pokok yang dapat disimpan.
Menurut ulama Syafi’iyah,
‘illah pada empat komoditi yaitu karena mereka sebagai makanan. Ini qoul
jadid (perkataan terbaru ketika di Mesir) dari Imam Syafi’i.
Sedangkan menurut qoul qodiim (perkataan yang
lama ketika di Baghdad) dari Imam Syafi’i, beliau berpendapat bahwa keempat
komoditi tersebut memiliki ‘illah yaitu sebagai makanan yang dapat ditakar atau
ditimbang. Ulama Syafi’iyah lebih menguatkan qoul
jadid dari Imam Syafi’i. Sedangkan untuk emas dan perak karena
keduanya sebagai alat tukar atau sebagai barang
berharga untuk alat tukar.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, ‘illah pada empat komoditi adalah sebagai makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Sedangkan
pada emas dan perak adalah sebagai alat tukar secara
mutlak. Sehingga semisal emas dan perak karena memiliki ‘illah yang sama adalah
mata uang logam atau pun kertas.
Pendapat terkuat dalam
masalah ini –sebagaimana faedah dari guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah- adalah
dengan menggabungkan ‘illah yang ada. Kita dapat menyimpulkan bahwa untuk emas
dan perak karena sebagai alat tukar. Oleh karena itu, mata uang dimisalkan
dengan emas dan perak. Sedangkan untuk empat komoditi lain, ‘illahnya karena
mereka adalah makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Oleh karena itu,
berlaku riba dalam beras dan daging karena keduanya adalah makanan yang dapat
ditakar atau ditimbang. Sebagai contoh, jika kita menukar beras jelek dengan
beras bagus, maka harus tunai dan salah satu tidak boleh berlebih dalam hal
timbangan.
Macam-macam Riba
Adapun riba ada tiga macam:
1. Riba
fadhel, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis karena adanya
tambahan.
Contoh: Menukar emas 24
karat dengan emas 18 karat dengan salah satu dilebihkan dalam hal timbangan.
Atau menukar uang Rp 10 ribu dengan pecahan seribu rupiah namun hanya 9 lembar.
2. Riba nasi-ah, yaitu
riba yang terjadi pada barang yang sejenis atau beda jenis namun masih dalam
satu sebab (‘illah) dan terdapat tambahan dalam takaran atau timbangan dikarenakan
waktu penyerahan yan tertunda.
Contoh: Membeli emas yaitu
menukar uang dengan emas, namun uangnya tertunda, alias dibeli secara kredit
atau utang.
3. Riba qordh, yaitu
riba dalam utang piutangan dan disyaratkan adanya keuntungan atau timbal balik
berupa pemanfaatan. Seperti, berutang namun dipersyaratkan dengan pemanfaatan
rumah dari orang yang berutang.
Contoh: Si B meminjamkan
uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu disyaratkan mengembalikan Rp 1,2 juta
rupiah, atau disyaratkan selama peminjaman, rumah si A digunakan oleh si B
(pemberi utang). Hal ini berlaku riba qordh karena para ulama sepakat,
“Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”.
Jual Beli yang Mengandung Riba
Setelah kita memahami hal
di atas, selanjutnya kita akan melihat beberapa contoh jual beli yang
mengandung riba yaitu sebagai berikut:
1. Jual beli ‘inah
Ada beberapa definisi
mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama. Definisi yang paling
masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang
pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan
harga lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali supaya
mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.
Semisal, pemilik tanah
ingin dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang tunai,
si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu secara
kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua tahun ke depan”.
Sebulan setelah itu, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya
membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.”
Artinya di sini, si
pemilik tanah sebenarnya melakukan akal-akalan. Ia ingin meminjamkan uang 170
juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara.
Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang
disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena “setiap
piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”
Mengenai hukum jual beli
‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut
yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak
membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy
Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat dari
akad secara lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak
memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah
dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di
antara alasannya:
Pertama: Untuk
menutup rapat jalan menuju transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan, sama
saja membolehkan kita menukarkan uang 200 juta dengan 170 juta namun yang salah
satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua:
Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ
وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ
ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika
kalian berjual beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk
dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan
pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan
menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga
kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Daud no. 3462.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
‘Aunul Ma’bud, 9: 242).
2. Jual beli muzabanah dan muhaqolah
Muzabanah adalah
setiap jual beli pada barang yang tidak diketahui takaran, timbangan atau
jumlahnya ditukar dengan barang lain yang sudah jelas takarannya, timbangan
atau jumlahya. Contohnya adalah menukar kurma yang sudah dikilo dengan kurma
yang masih di pohon. Di sini terdapat riba karena tidak jelasnya takaran kedua
kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika menukar barang ribawi yang
sejenis harus tunai dan takarannya harus sama.
Dari ‘Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ
الْمُزَابَنَةِ . وَالْمُزَابَنَةُ اشْتِرَاءُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً ،
وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muzabanah. Yang dimaksud
muzabanah adalah seseorang membeli buah (yang masih di pohon) ditukar dengan
kurma yang sudah dikilo atau membeli anggur yang masih di pohon ditukar dengan
anggur yang sudah dikilo” (HR. Bukhari no. 2185 dan Muslim no. 1542).
Muhaqolah adalah
jual beli dengan menukar gandum yang ada pada mayang (bulir) dengan gandum yang
bersih hanya dengan mentaksir. Jika hal ini terjadi pada gandum, maka terdapat
riba karena dalam tukar menukar gandum dengan gandum harus diketahui takaran
yang sama.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْمُحَاقَلَةِ
وَالْمُزَابَنَةِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muhaqolah dan muzabanah” (HR.
Bukhari no. 2187 dan Muslim no. 1536).
Namun ada bentuk jual
beli yang dibolehkan padahal semisal dengan muzabanahdan muhaqolah yaitu
yang dikenal dengan jual beli ‘aroya.
‘Aroya adalah menukar kurma basah dengan kurma kering di saat ada hajat
(butuh). Ibnu Hajar berkata,
لَا تَجُوزُ الْعَرِيَّة إِلَّا لِحَاجَةِ صَاحِبِ الْحَائِطِ إِلَى
الْبَيْعِ أَوْ لِحَاجَةِ الْمُشْتَرِي إِلَى الرُّطَبِ
“Tidak
boleh melakukan transaksi ‘aroya kecuali dalam keadaan hajat yaitu si penjual
sangat butuh untuk menjual atau si pembeli sangat butuh untuk mendapatkan kurma
basah” (Fathul Bari, 4: 393).
Para ulama menjelaskan
bahwa jual jual beli aroyah diberi keringanan dengan beberapa syarat:
- Bisa ditaksir berapa
kurma basah ketika akan menjadi kering.
- Yang ditukar tidak
lebih dari lima wasaq (1 wasaq = 60 sho’, 1 sho’ = 4 mud, 1 sho’ = 2,176 kg, 1
wasaq = 130.56 kg).
- Dilakukan oleh orang
yang butuh pada kurma basah.
- Orang yang menginginkan
kurma basah tidaklah memiliki uang, hanya memiliki kurma kering dan ia bisa
mentaksir. (Manhajus Salikin, 142).
3. Jual beli daging dengan
hewan
Tidak boleh melakukan
jual beli semacam ini. Yang mesti dilakukan, terlebih dahulu hewan tersebut
bersih dari tulang, setelah itu boleh ditukar dengan daging. Jika terjadi
kelebihan takaran atau timbangan, maka terjadilah riba
fadhel. Contohnya adalah jual beli kambing yang masih hidup ditukar
dengan daging kambing.
Dari Sa’id bin Al
Musayyib, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ اللَّحْمِ
بِالْحَيَوَانِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli daging dan hewan” (HR.
Malik dalam muwatho’nya 2: 655, Al Baihaqi 5: 296, Hakim dalam mustadroknya 5:
357. Al Baghowi mengatakan bahwa hadits Ibnul Musayyib meskipun mursal, namun
dikuatkan dengan amalan sahabat. Imam Syafi’i sendiri menganggap hasan hadits
mursal dari Sa’id bin Al Musayyib. Lihat Syarh As Sunnah 8: 77).
4. Jual beli kredit
lewat pihak ketiga (leasing)
Jual beli secara kredit
asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu
diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit harus melihat beberapa
kriteria. Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang
riba.
Kriteria pertama,
barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan
kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi
secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika
mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan
pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di
muka dan sisanya dibayarkan di belakang.
Kriteria kedua,
barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik
pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si
pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang
tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada
bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan
lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh
melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun
sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas
di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak
ketiga, (2) tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. (Faedah dariislamweb.net)
Jika salah satu dari dua
syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran.
Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara
sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa
yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia
selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu
hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma berkata,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ
الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ
الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami
dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan.
Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar
memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum
kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
Atau bisa jadi terjerumus
dalam riba karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu
mengeruk keuntungan dari utang. Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan
haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.
5. Jual beli utang dengan utang
Bentuknya adalah seseorang
membeli sesuatu pada yang lain dengan tempo, namun barang tersebut belum
diserahkan. Ketika jatuh tempo, barang yang dipesan pun belum jadi. Ketika itu
si pembeli berkata, “Jualkan barang tersebut padaku hingga waktu tertentu dan aku akan
memberikan tambahan”. Jual beli pun terjadi, namun belum ada taqobudh (serah
terima barang). Bentuk jual beli adalah menjual sesuatu yang belum ada dengan
sesuatu yang belum ada. Dan di sana ada riba karena adanya tambahan.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ
بِالْكَالِئِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli utang dengan utang” (HR.
Ad Daruquthni 3: 71, 72. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’ifsebagaimana
dalam Dho’iful Jaami’ 6061). Namun makna hadits ini benar dan disepakati oleh
para ulama, yaitu terlarang jual beli utang dengan utang.
Karena sebab inilah dalam
jual beli salam (uang dahulu, barang belakangan), berlaku aturan uang
secara utuh diserahkan di muka, tidak boleh ada yang tertunda.
Demikian ulasan mengenai
jual beli yang mengandung riba. Masih ada beberapa bentuk jual beli yang
terlarang yang moga bisa dilanjutkan dalam kesempatan yang lain dengan izin
Allah.
Wallahu
waliyyut taufiq.