Murabahah yang Mengandung Riba
Alhamdulillah, shalawat dan
salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Dalam fikih muamalah
dikenal istilah murabahah. Yang dimaksud murabahah adalah penjual
memberitahukan harga barang pada si pembeli dan ia mengambil untung dari
penjualan barang tersebut. Jual beli ini dipraktekkan di beberapa bank syariah
atau BPR saat ini. Bagaimana murabahah yang semestinya?
Memahami Murabahah
Murabahah sudah jelas
dalam penjelasan di atas. Deskripsinya adalah sebagai berikut:
Ruslan
menjual mobil pada Ahmad. Dan ia memberitahukan harga belinya pada Ahmad 100
juta. Karena jasa Ruslan untuk membeli terlebih dahulu dan berani memberikan
pada Ahmad secara cicilan, maka ia menjual mobil tersebut sebesar 120 juta.
Artinya, Ruslan mendapat untung sebesar 20 juta dan Ahmad mengetahui hal ini.
Ada istilah lain yang
mirip murabahah. Kalau contoh di atas ditarik keuntungan. Ada jual beli yang
sudah dikabarkan harga pembelian pada si pembeli sama dengan murabahah, namun
si penjual tidak mengambil untung, harga pembelian sama dengan harga penjualan.
Ini dikenal dengan jual beli tawliyah. Ada
juga bentuk yang malah si penjual rugi. Ia memberitahukan harga sebenarnya pada
si pembeli, namun ia menetapkan harga lebih rendah karena boleh jadi barangnya
sudah lama. Jual beli kedua ini dikenal dengan jual
beli wadhi’ah atau mukhasaroh. Jadi
ada tiga jual beli yang sifatnya amanah: (1) murabahah (kenal
untung), (2) tawliyah (kenal imbas), dan (3) wadhi’ah (kenal
rugi).
Adapun mengenai hukum
jual beli murabahah, asalnya dibolehkan. Dalil akan hal ini
adalah keumuman firman Allah Ta’ala yang
menjelaskan halalnya jual beli. AllahTa’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli” (QS. Al Baqarah: 275).
إِلَّا تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Kecuali
dengan jalan perniagaan yang saling ridho di antara kamu” (QS.
An Nisa’: 29). Murabahah termasuk jual beli saling ridho di antara penjual dan
pembeli, sehingga termasuk jual beli yang dibolehkan.
Begitu pula secara
logika, jual beli ini amat dibutuhkan dan telah tersebar luas. Di antara kita
ada orang yang tidak tahu manakah barang yang berkualitas untuk dibeli,
sehingga kita butuh informasi dari orang yang lebih mengetahui seluk-beluk
barang di pasar. Sebagai balas budi, si pembeli memberikan balas jasa pada si
penjual yang telah membeli barang tersebut dengan memberikan keuntungan.
Sehingga jual beli murabahah dengan logika
sederhana ini dibolehkan.
Memerintah untuk Membelikan
Barang
Ilustrasi jual beli ini hampir
mirip dengan jual beli murabahah atau ia termasuk dalam jual beli murabahah.
Jual beli ini dikenal dengan jual beli al aamir bisy syiro’. Ulama
Syafi’iyah menjelaskan jual beli ini, “Si A melihat ada suatu barang yang
membuat ia tertarik. Ia lalu berkata pada si B, “Tolong belikan barang ini dan
engkau boleh mengambil untung dariku jika aku membelinya.” Lalu si A membeli
barang tersebut dari si B. Jual beli dengan bentuk seperti ini boleh dengan
keuntungan sesuai yang diinginkan.
Namun
catatan yang perlu diperhatikan: Jual beli al aamir bisy syiro’ tidaklah
bersifat mengikat. Jika si A memutuskan ingin membeli dari si B, maka
terjadilah jual beli. Jika si A tidak mau setelah menimbang-nimbang atau
melihat kualitas barang yang dibeli si B tidak sesuai keinginan, maka ia boleh
membatalkannya.
Realita Murabahah yang Terjadi
Realita yang terjadi di
lapangan tidaklah sesuai dengan murabahah yang dijelaskan dalam fikih Islam.
Praktek murabahah yang dilakukan pihak bank atau lembaga perkreditan rakyat
yang mengatasnamakan syari’ah jauh dari yang semestinya.
Lihatlah contoh yang
dijelaskan oleh para ulama di atas, seperti dalam contoh terakhir, si B
benar-benar telah memiliki barang yang ingin dijual pada si A. Namun realita
yang terjadi di bank tidaklah demikian. Coba lihat ilustrasi murabahah yang
dipraktekkan pihak bank:
1. Calon pembeli datang
ke bank, dia berkata kepada pihak bank, “Saya bermaksud membeli mobil X yang
dijual di dealer A dengan harga Rp. 100 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual
beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan, “Kami jual mobil
tersebut kepada Anda dengan harga Rp. 120 juta, dengan tempo 3 tahun.”
Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 100 juta kepada pemohon dan berkata,
“Silakan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut.”
Realita yang terjadi ini
bukanlah murabahah. Kenyataannya adalah pihak bank meminjamkan uang pada si
pemohon sebesar 100 juta untuk membeli mobil di dealer. Lalu si pemohon
mencicil hingga 120 juta. Seandainya transaksi dengan pihak bank adalah jual beli,
maka mobil tersebut harus ada di kantor bank. Karena syarat jual beli, si
penjual harus memegang barang tersebut secara sempurna sebelum dijual pada
pihak lain. Simak hadits berikut.
Dari Ibnu ‘Abbas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa
yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia
selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu
hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar berkata,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ
الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ
الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami
dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan.
Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar
memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum
kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
Mobil tersebut belum
berpindah dari dealer ke kantor bank. Itu sama saja bank menjual barang yang
belum ia miliki atau belum diserah terimakan secara sempurna. Dan realitanya
maksud bank adalah meminjamkan uang 100 juta dan dikembalikan 120 juta.
Kenyataan ini adalah riba karena para ulama sepakat, “Setiap
utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba.”
2. Sama dengan ilustrasi
pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli
mobil X dari Anda.” Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu
pihak bank berkata kepada pemohon: “Silakan Anda datang ke showroom tersebut
dan ambil mobilnya.”
Ilustrasi kedua pun sama,
bank juga menjual barang yang belum diserahterimakan secara sempurna. Ini
termasuk pelanggaran dalam jual beli seperti yang diterangkan dalam hadits Ibnu
‘Abbas dan Ibnu ‘Umar di atas.
3. Seorang pemohon datang
ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan, “Kami akan mengusahakan
barang tersebut.” Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak
bank, mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke toko dan membeli
barang selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara
pemohon dan pihak bank.
Pada akad di atas, pihak
bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah
dipindahkan dan dia terima barang tersebut.
Hukum transaksi ini
dirinci:
- bila akadnya bersifat
mengikat (tidak bisa dibatalkan), maka haram karena termasuk menjual sesuatu
yang sebelumnya tidak dimiliki.
- bila akadnya tidak
bersifat mengikat (bisa dibatalkan) oleh pihak penjual atau pembeli, maka
masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini. Pendapat terkuat, jual beli
semacam ini dibolehkan karena barang sudah berpindah dari penjual pertama
kepada bank.
Namun sayangnya,
ilustrasi terakhir tidak bisa dijumpai di bank-bank yang ada kecuali dengan
bentuk yang mengikat (tidak bisa dibatalkan).
Wallahu
a’lam bish showwab.
Alhamdulillah,
wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.